Minggu, 07 November 2010

Kehadiran awal orang Tiong Hoa di Bangka. Kejayaan dinasti QING (1644 – 1912) di Cina dengan keempat kaisar nya selama hampir 300 tahun membawa berkah ekonomi bagi negeri tetangga di Asia Tenggara. Diawali dengan masa pemerintahan kaisar Kangxi yang langgeng selama 61 tahun sejak 1661 hingga 1722, dilanjutkan oleh sang... cucu; kaisar Qianglong yang memegang tampuk kekuasaan selama 60 tahun, sejak 1736-1796 membuat negeri Cina mengalami kemajuan dalam berbagai bidang seni dan budaya, dunia ilmu pengetahuan dan administrasi pemerintahan yang efisien. Ratu Dowager Cixi; selir tingkat lima penerus takhta bahkan secara de facto mampu bertahan selama 47 tahun dari tahun 1861-1908. Kemakmuran Cina pada masa dinasti Qianglong menyerap banyak produk dari negeri-negeri sekitar, termasuk timah Bangka dan Belitung. Cina membutuhkan timah bagi keperluan membuat kertas dupa untuk acara persembahyangan, dicampur dengan logam lain timah akan menurunkan produk berupa kaca, cangkir, tempat lilin dan bejana, dan tak lupa bahwa mata uang logam Cina mengandung 5% timah. Walhasil timah tak ubahnya “sembako” bagi Cina. Adalah orang Tiong Hoa yang sama kita ketahui berperan besar dalam membangun ekonomi Bangka berbasis sumber daya mineral timah. Dan Bong Hu But lah ahli dari Cina pertama yang diberi kuasa penuh mencari timah di wilayah Mentok hingga ke Bangka Utara, ke Bunut hingga ke Belinyu. Tiong Hoa berikutnya Boen A Siong, Oen A Siong alias Oen A Sing adalah ahli dan sekaligus kepala pekerja Cina. Pada masa penaklukan Inggris hampir 1600 pekerja Cina dikapalkan ke Mentok untuk membangun barak dan bertani. Kehadiran Belanda di Bangka setelah Inggris; mengimport penambang timah dari Guangdong hingga tercatat ditahun 1823 ada 4,000 penambang Cina (sedikit wanita dan anak-anak), dan pada masa ini hampir ada 3,000 kampung Tiong Hoa di Bangka. Tahun 1845 penambang Tiong Hoa dan pria dewasa Tiong Hoa sesuai dengan asalnya berjumlah: 4,178 Singkeh atau Hakka, 278 Hoklo (Chaozhou), dan 754 Peranakan. Diantara Cina Peranakan ada 28 Muslim. Tahun 1850 jumlah penambang Tiong Hoa di Bangka 5000 orang, meningkat 2000 – 3000 orang setiap tahun hingga tahun 1900. Ada 200 tambang operasi di Bangka, sehingga ada 9,000 Tiong Hoa di Bangka – diluar pria penambang ada 1,277 wanita dewasa, 1,010 anak lelaki dan 934 anak perempuan usia dibawah 12 tahun. Dan pada tahun 1852 jumlah orang Tiong Hoa di Bangka meningkat menjadi 14,000 orang, dimana tiga seperempatnya adalah pria dewasa pekerja tambang.

Peran saudagar timah Tiong Hoa: Era 100 tahun antara 1832-1932 adalah era kejayaan tauke timah Tiong Hoa yang berpangkat Letnan, Kapiten atau Mayor di Bangka. Tan Hong Kwee adalah kapten Tiong Hoa di Mentok tahun 1832 – 1839. Kemudian ada Lim Tja Sim; pengawas tambang timah di Toboali dan Koba. Berlanjut kepada Tan Kong Tian berpangkat Kapten. Diikuti oleh Lim Boe Sing tauke besar yang sempat merugi sewaktu mendatangkan kuli dari Tiongkok diawal 1900. Pengganti Tan pada tahun 1895 adalah mayor Tjoeng A Tiam, yang menjadi Letnan ditahun 1863. Dan mayor Tjoeng lah yang membangun rumah besar yang sampai hari ini masih tegak berdiri, dikenal sebagai RUMAH MAYOR di Mentok. Adapun Lim A Pat berperan di awal 1900, salah satu the big boss, berpangkat Letnan di Mentok Maret 1896 dan KAPTEN hingga 1915. Lim A Pat dikenal pula sebagai pemrakarsa pendirian sekolah THHK, Tiong Hoa Hwe Koan (PY: Zhonghua Huigian, Chinese Association) di Pangkalpinang tahun 1907. Dilanjutkan di Belinyu tahun 1908, Sungailiat tahun 1910, dan Toboali tahun 1912. Tauke Cina terakhir diantara tahun 1837 – 1935 adalah dari marga Bong. Perwira terakhir adalah Bong Joeng Kin (1927-1942) di Pangkalpinang. Setelah Perang Dunia II berakhir, maka berakhir masa Mayor, Kapten dan Letnan Belanda. Diantara para letnan, kapten dan mayor inilah terdapat nama seorang mayor dari keluarga Oen yang lengkapnya adalah: Majoor titulair der Chineezen Oen Kheng Boe (1870 – 1925), pemilik bioskop Banteng atau kala itu dikenal sebagai bioskop Hebe (nama dewi kaum muda dalam mitos Yunani).(GENI.COM)

Kehadiran awal orang Tiong Hoa di Bangka. Kejayaan dinasti QING (1644 – 1912) di Cina dengan keempat kaisar nya selama hampir 300 tahun membawa berkah ekonomi bagi negeri tetangga di Asia Tenggara. Diawali dengan masa pemerintahan kaisar Kangxi yang langgeng selama 61 tahun sejak 1661 hingga 1722, dilanjutkan oleh sang... cucu; kaisar Qianglong yang memegang tampuk kekuasaan selama 60 tahun, sejak 1736-1796 membuat negeri Cina mengalami kemajuan dalam berbagai bidang seni dan budaya, dunia ilmu pengetahuan dan administrasi pemerintahan yang efisien. Ratu Dowager Cixi; selir tingkat lima penerus takhta bahkan secara de facto mampu bertahan selama 47 tahun dari tahun 1861-1908. Kemakmuran Cina pada masa dinasti Qianglong menyerap banyak produk dari negeri-negeri sekitar, termasuk timah Bangka dan Belitung. Cina membutuhkan timah bagi keperluan membuat kertas dupa untuk acara persembahyangan, dicampur dengan logam lain timah akan menurunkan produk berupa kaca, cangkir, tempat lilin dan bejana, dan tak lupa bahwa mata uang logam Cina mengandung 5% timah. Walhasil timah tak ubahnya “sembako” bagi Cina. Adalah orang Tiong Hoa yang sama kita ketahui berperan besar dalam membangun ekonomi Bangka berbasis sumber daya mineral timah. Dan Bong Hu But lah ahli dari Cina pertama yang diberi kuasa penuh mencari timah di wilayah Mentok hingga ke Bangka Utara, ke Bunut hingga ke Belinyu. Tiong Hoa berikutnya Boen A Siong, Oen A Siong alias Oen A Sing adalah ahli dan sekaligus kepala pekerja Cina. Pada masa penaklukan Inggris hampir 1600 pekerja Cina dikapalkan ke Mentok untuk membangun barak dan bertani. Kehadiran Belanda di Bangka setelah Inggris; mengimport penambang timah dari Guangdong hingga tercatat ditahun 1823 ada 4,000 penambang Cina (sedikit wanita dan anak-anak), dan pada masa ini hampir ada 3,000 kampung Tiong Hoa di Bangka. Tahun 1845 penambang Tiong Hoa dan pria dewasa Tiong Hoa sesuai dengan asalnya berjumlah: 4,178 Singkeh atau Hakka, 278 Hoklo (Chaozhou), dan 754 Peranakan. Diantara Cina Peranakan ada 28 Muslim. Tahun 1850 jumlah penambang Tiong Hoa di Bangka 5000 orang, meningkat 2000 – 3000 orang setiap tahun hingga tahun 1900. Ada 200 tambang operasi di Bangka, sehingga ada 9,000 Tiong Hoa di Bangka – diluar pria penambang ada 1,277 wanita dewasa, 1,010 anak lelaki dan 934 anak perempuan usia dibawah 12 tahun. Dan pada tahun 1852 jumlah orang Tiong Hoa di Bangka meningkat menjadi 14,000 orang, dimana tiga seperempatnya adalah pria dewasa pekerja tambang.

Peran saudagar timah Tiong Hoa: Era 100 tahun antara 1832-1932 adalah era kejayaan tauke timah Tiong Hoa yang berpangkat Letnan, Kapiten atau Mayor di Bangka. Tan Hong Kwee adalah kapten Tiong Hoa di Mentok tahun 1832 – 1839. Kemudian ada Lim Tja Sim; pengawas tambang timah di Toboali dan Koba. Berlanjut kepada Tan Kong Tian berpangkat Kapten. Diikuti oleh Lim Boe Sing tauke besar yang sempat merugi sewaktu mendatangkan kuli dari Tiongkok diawal 1900. Pengganti Tan pada tahun 1895 adalah mayor Tjoeng A Tiam, yang menjadi Letnan ditahun 1863. Dan mayor Tjoeng lah yang membangun rumah besar yang sampai hari ini masih tegak berdiri, dikenal sebagai RUMAH MAYOR di Mentok. Adapun Lim A Pat berperan di awal 1900, salah satu the big boss, berpangkat Letnan di Mentok Maret 1896 dan KAPTEN hingga 1915. Lim A Pat dikenal pula sebagai pemrakarsa pendirian sekolah THHK, Tiong Hoa Hwe Koan (PY: Zhonghua Huigian, Chinese Association) di Pangkalpinang tahun 1907. Dilanjutkan di Belinyu tahun 1908, Sungailiat tahun 1910, dan Toboali tahun 1912. Tauke Cina terakhir diantara tahun 1837 – 1935 adalah dari marga Bong. Perwira terakhir adalah Bong Joeng Kin (1927-1942) di Pangkalpinang. Setelah Perang Dunia II berakhir, maka berakhir masa Mayor, Kapten dan Letnan Belanda. Diantara para letnan, kapten dan mayor inilah terdapat nama seorang mayor dari keluarga Oen yang lengkapnya adalah: Majoor titulair der Chineezen Oen Kheng Boe (1870 – 1925), pemilik bioskop Banteng atau kala itu dikenal sebagai bioskop Hebe (nama dewi kaum muda dalam mitos Yunani).(GENI.COM)

Selasa, 02 Juni 2009

PLTS

Penerangan Muntok Gunakan PLTS
MUNTOK – Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata dan Informatika (Dishubparinform) Kabupaten Bangka Barat, Drs Chairul Amri Rani mengatakan bahwa Pemkab Bangka Barat akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk penerangan rumah warga dan jalan. Dalam hal ini sudah ada investor dari Cina yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Babar dan pada bulan Juni ini akan survey ke Muntok.
Selain pengembangan PLTS, investor dari Cina juga akan mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin yang mana pada tahun 2010 diusulkan pemasangan beberapa ribu titik rumah warga diutamakan di desa-desa. Sedangkan untuk penerangan jalan diusulkan 100 titik yang mana terletak di Kecamatan Muntok sampai ke Kecamatan Kelapa dan hal ini sudah diusulkan ke Pemerintah Pusat melalui APBN.
“Untuk penerangan ini kita sudah mendapatkan investor dari Cina untuk mengembangkannya yakni 2 alternatif PLTS dan tenaga angin. Untuk penerangan jalan kita sudah mengusulkan 100 titik yang akan ditempatkan di sepanjangan jalan nasional dari Kecamatan Kelapa hingga Muntok terutama daerah yang rawan baik itu di tikungan maupun di hutan hal ini untuk mencegah tindakan kriminal dan kecelakaan,”ucapnya.
Dijelaskan Amri bawa sebenarnya masyarakat selama ini sudah dibebankan untuk membayar pajak penerangan jalan bagi pengguna PLN. Namun penerangan jalan itu sendiri tidak dirasakan oleh masyarakat dikarenakan keterbatasan tenaga listrik yang dimiliki oleh PLN untuk itu dengan adanya PLTS ini dirinya berharap agar penerangan paling tidak di jalan raya dapat terang dimalam hari,”mungkin penerangan jalan terlebih dahulu akan terealisasi, karena hanya 100 titik kalau rumah warga masih menunggu investor dari Cina,”tutur Amri.

Jumat, 29 Mei 2009

Batu Balai Tahun 1860

Coba Anda bandingkan foto obyek wisata Batu Balai yang terletak 7 km dari pusat Kota Muntok Bangka Barat dengan foto yang anda abadikan sekarang.Sungguh luar biasa dan sangat menakjubkan,...ternyata bangsa Belanda lebih peduli dengan obyek batu tersebut.Melihat data foto yang diambil sekitar tahun 1860. Dimana Batu Balai terlihat terawat dan tertatah sedemikian rupa.Pantauan penulis yang sering melintasi obyek wisata Batu Balai yang legendanya mirip dengan anak durhaka Malin Kundang, nampak tidak terawat dengan baik dari dinas Pariwisata Bangka Barat.Padahal jika obyek ini ditata sedemikian rupa, tidak menutup kemungkinan akan menarik wisatawan dalam dan luar negeri.(ALIF)

Kamis, 11 September 2008

POTRET BANGKA BARAT

POTRET BANGKA BARAT

BANGKA ISLAND MASSACRE




BANGKA ISLAND MASSACRE (St. Valentine's Day, February 14, 1942)
On board the liner SS Vyner Brooke (Captain R. E. Borton, OBE) named after its onetime owner Sir Charles Vyner Brooke, Rajah of Sarawak, and in peacetime had sailed between Singapore and Kuching, were 65 Australian Army nurses of the 2/10 and the 2/13th Australian General Hospitals in Singapore who, together with other civilian women and children, made up the 330 persons being evacuated from the city. In the Banka Strait, a narrow strip of water between the islands of Bangka and Sumatra, the Vyner Brooke was bombed and sunk by Japanese planes. A few lifeboats managed to reach the mangrove lined shore of Bangka Island. On advice from some islanders they were advised to give themselves up to the Japanese as there was no hope of escaping. That night another lifeboat arrived on the shore containing between 30 and 40 British servicemen from another ship sunk earlier. The civilian women, some nurses and children, then set out to walk to the nearest Japanese compound to give themselves up. When the Japanese arrived at the beach the men and women were separated, the men were marched into the jungle, never to be heard of again. The soldiers returned and forced the remaining 22 nurses to wade out into the sea. There, in waist deep water, they were machined-gunned to death, leaving only one survivor, Sister Vivian Bullwinkle, who later managed to reach the island's Japanese Naval Headquarters where she was put to work in the hospital. For over three years she kept the secret of the massacre to herself and a few friends. To speak openly about it would have been a certain recipe for execution. Of the 65 nurses from the Vyner Brooke, 12 had drowned, 21 shot in the water at Radji Beach and 32 had gone into prison in Muntok before being shipped to Palembang in southern Sumatra to serve three-and-a-half years of privation and punishment as prisoners of war. Sadly, only 24 survived the war. (Sister Bullwinkle died in Perth, Western Australia, in 2000, aged 84)